Hari Minggu, 29 Juli 2018, saya dan suami pulang dari tugas pelayanan kami di Kakap. Saya merasa begitu kelelahan akibat perjalanan yang jauh dan aktivitas selama di sana. Saya segera mandi dan ingin secepatnya membaringkan diri di atas kasur. Sewaktu badan ini menyentuh kasur yang empuk, rasanya nyaman sekali. Tulang-tulang yang tadinya kaku jadi terasa lentur. Apalagi ditemani oleh suara hujan dan hembusan angin AC, terasa ada efek relaksasi di tubuh saya. Damai rasanya. Tidak perlu waktu yang lama untuk membuat saya terlelap.
Saya tertidur kurang lebih satu jam di Minggu sore ini. Sewaktu terbangun, saya masih membaringkan diri saya dengan mata tertutup dan mengingat-ingat kejadian yang baru saja saya alami sewaktu tidur. Kejadian ini disebut sebagai mimpi. Ya, benar! Mimpi. Kalian juga pernah bermimpi kan? Kalau saya, hampir setiap hari bermimpi dan mulai dari hari ini, saya akan menuliskan mimpi-mimpi saya. Mimpi saya ini ada yang akan saya kaitkan dengan kejadian nyata di dalam hidup saya atau ada juga pelajaran yang bisa didapatkan langsung dari mimpi tersebut.
Saat tertidur tadi, saya bermimpi sedang berjalan-jalan bersama suami di suatu jalan yang tidak kami kenal. Di depan kami, lewat beberapa anak SMA. Badan mereka jauh lebih besar dibandingkan badan saya. Saya merasa seperti bocah kecil di antara mereka. Saya mengamati anak-anak SMA tersebut. Eh, salah satu dari anak-anak itu menatap ke arah saya dan saya pun balas menatap wajahnya. Memangnya saya takut? Tidak dong. Tenang saja, gelagat anak laki-laki tersebut tidak seperti ingin mengajak saya berantem kok. Lantas apa? Apakah dia terpesona dengan wajah saya yang manis? Wah, saya jadi tersipu malu nih. Sudah, sudah. Saya jadi ingin tahu, siapa sebenarnya anak ini. Sewaktu kami saling menatap, wajah anak ini sepertinya pernah saya lihat. Tetapi, di mana? Kapan? Siapakah dia?
Sewaktu saya masih memeras otak saya untuk mengingat-ingat, suara laki-laki dewasa keluar dari anak SMA ini. Anak ini berkata, “Ce Santi kan?” Secara spontan, saya pun membalas “Evan ya?” Tetapi saya agak ragu-ragu saat mengucapkan nama tersebut. Waktu dia menggeleng, saya pun baru teringat. “Oh, Richo kan?” dan sekali saya menolehkan wajah ke label baju sekolahnya, ternyata benar, dia adalah Richo, anak les saya bertahun-tahun yang lalu.
Dahulu, semenjak masih kuliah, saya mengajar les di tempat seorang guru dan Richo ini adalah salah satu anak les yang kala itu masih duduk di kelas 1 SMP. Saat bercakap-cakap dengannya, saya menanyakan juga tentang anak-anak yang lainnya, seperti Hansen dan Arif. Tapi, Hansen dan Arif kan anak-anak les saya yang kala itu masih duduk di bangku SD. Hahaha... memangnya Richo kenal? Tetapi mungkin juga dia kenal, kan mereka masih dalam satu lingkungan yang sama tempat lesnya.
Sewaktu Richo dan teman-temannya pamit untuk meneruskan perjalanan mereka, saya pun dengan bangganya menceritakan kepada suami bahwa anak SMA tadi dulunya adalah anak les saya. Meskipun sekarang dia sudah besar, tetapi dia masih mengingat saya. Betapa senangnya saya karena masih diingat oleh anak-anak yang pernah saya ajar. Saya meneruskan perjalanan dengan senyum lebar menghiasi wajah saya. Bukan hanya wajah saja. Jika hati saya bisa tersenyum, maka hati saya juga akan dihiasi dengan senyuman seperti di wajah saya. Omong-omong, di mana suami saya? Tadi dia masih ada di samping saya. Heran, ke mana dia pergi? Ah, namanya juga mimpi, penuh dengan tanda tanya.
Kegembiraan terbesar seorang guru adalah saat melihat anak-anak muridnya bertumbuh besar dan menjadi anak yang baik. Selain itu, guru juga akan lebih gembira lagi jika anak-anak masih mengingat dirinya. Namun pada kenyataannya, banyak anak-anak yang tidak mengingat saya sebagai gurunya. Inilah dukanya guru yang mengajar anak-anak prasekolah. Dulu sewaktu saya masih mengajar anak-anak berusia 2 sampai 5 tahun, saat mereka bertumbuh besar, kebanyakan anak sudah melupakan saya, khususnya anak-anak di kelompok usia yang lebih kecil. Tetapi orang tua mereka masih mengenali saya dan meminta anaknya untuk menyalami saya. Setidaknya hati ini masih terhibur. Namun, tidak semua anak melupakan saya sebagai gurunya. Masih ada anak-anak yang mengingat saya. Itulah yang menjadi kegembiraan seorang guru, yaitu diingat oleh anak-anak yang pernah diajarnya. Apakah Anda mengingat guru Anda?