Pada suatu hari, saya tiba-tiba terbangun di dalam kegelapan. Dengan perlahan, saya turun dari tempat tidur supaya tidak mengganggu suami saya yang masih tidur. Saya membuka pintu kamar, berjalan ke dapur dan menyalakan lampu di dapur. Saya sangat terkejut melihat tombol kompor gas masih di posisi menyala namun tidak ada apinya lagi karena sudah kehabisan gas. Air di dalam panci juga sudah kosong. Saya teringat kembali bahwa sewaktu saya mau tidur, suami saya yang masih kerja di depan laptop mengatakan bahwa ia sedang memasak air. Sepertinya dia tertidur tanpa mematikan kompor gas. Saya segera kembali ke dalam kamar tidur dan membangunkan suami saya. Saya mengatakan kepadanya bahwa ia telah lupa mematikan kompor gas dan saya memarahi dia. Untung gasnya habis jadi tidak sampai terjadi kebakaran. Dan lebih untung lagi, ini hanya mimpi!
Mimpi ini serupa dengan kehidupan nyata kami. Hampir setiap pagi suami saya mencuci beras dan memasak nasi. Sesudah itu, ia akan memasak air dan menyeduh oatmeal. Jika waktu masih cukup, ia akan berolahraga dan baru sesudah itu ia akan mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.
Tugas memasak sayur dan lauk adalah bagian saya. Sesudah masakan siap, saya akan memasukkannya ke dalam kotak bekal suami saya, termasuk nasi yang dimasaknya. Pernah suatu hari, sewaktu saya membuka tutup rice cooker dan mau menyendok nasi, air masih menggenang di dalam rice cooker. Ternyata suami saya lupa menekan tombolnya ke bawah. Saya memanggil suami saya dan memarahinya. Eits, sebentar. Kok sepertinya kejadian ini sudah pernah terjadi. Apakah ini déjà vu? Bukan déjà vu! Kejadian ini mirip seperti mimpi saya semalam.
Di tengah kemarahan saya, saya memberitahukan kepada suami saya bahwa kejadian pagi ini sama seperti mimpi saya semalam, hanya jenis kesalahan saja yang berbeda. Di mimpi, saya marah karena dia lupa mematikan api kompor, sedangkan di dunia nyata, saya marah karena dia lupa menekan tombol rice cooker. Rasanya saya sangat geram. Padahal ini kan hal yang sudah sering dia kerjakan, kenapa masih bisa lupa menekan tombol rice cookernya. Sewaktu saya marah, dengan wajah bersalah dan dengan suara yang lembut, suami saya menenangkan emosi saya dengan berkata “jangan marah ya”. Setelah melihat wajahnya dan mendengar kata-katanya, hati saya pun menjadi lembut kembali. Saya menyuruhnya membeli nasi saja di kantin sekolah sembari menemaninya berjalan ke depan rumah (setiap hari saya selalu menemaninya ke depan rumah dan saya senang bisa melakukannya). Saat ia sudah naik ke atas sepeda motor, saya menunggu dia pergi baru menutup pintu. Di atas sepeda motor ia masih mengatakan “jangan marah ya istriku” dengan muka bersalah. Saya menjawab “Sudah tidak lagi kok”. Yes, saya berhasil mengendalikan emosi saya.
Selama ini, kalau saya marah, suami saya akan meminta maaf karena keteledorannya dan selalu dengan suara yang lembut menenangkan saya dengan berkata “jangan marah ya”. Dan saya pun akan segera berusaha untuk tidak marah lagi. Karena saya tahu setiap orang, termasuk saya, tidak terluput dari melakukan kesalahan. Apalagi kesalahan ini bukan sesuatu yang ia sengaja lakukan. Kadang kala ia tidak sengaja menjatuhkan barang yang dipegangnya, seperti mangkok dan gelas sehingga pecah berkeping-keping. Kadang ia mengunci wadah dengan terlalu erat sehingga saya tidak dapat membukanya. Ataupun dia lupa menekan tombol rice cooker. Kalau dulu, saya pasti akan langsung marah padanya tetapi karena dia selalu menenangkan saya, maka saya selalu ingat untuk tidak marah lagi. Apalagi dia sama sekali tidak pernah sekalipun marah kepada saya. Seharusnya saya bersyukur dia mau berinisiatif untuk membantu pekerjaan rumah seperti memasak nasi, memasak air, menjemur pakaian, mengangkat pakaian, membuang sampah dan hal-hal lainnya.
Saya bertanya kepadanya apa rahasianya dia bisa begitu penyabar. Ini kata-katanya yang selalu saya ingat sehingga membuat saya untuk tidak mau marah lagi. “Jika Anda marah pada pasangan Anda, lalu terjadi sesuatu hal yang buruk pada pasangan Anda, maka Anda pasti akan menyesal untuk selamanya karena tidak ada kesempatan lagi untuk berdamai dengannya.”